Kiai Sirojudin atau masyarakat salatiga yang lebih
mengenalnya dengan nama Kiai Damarjati ialah tokoh yang bergabung dalam Laskar
Diponegoro antara tahun 1825-1830 yang
titik awal perangnya di Jogjakarta kemudian meluas ke banyakan tempat di sekitar
pulau jawa.
Kiai Damarjati Sebenarnya hanyalah nama samara agar tidak
diketahui Kolonial Belanda pada masa perang Kolonial. Kiai damarjati sendiri
terlibat dalam perang jawa bersama laskar diponegoro.
Menurut Eddy Supangkat selaku pemerhati sejarah mengatakan,
ditengah perang diponegoro ada dua sosok yang berpengaruh dari Laskar
diponegoro yang datang sampai ke salatiga. Keduanya ialah kiai Ronosentiko dan
Kiai Sirojudin yang kemungkinan kuat berasal dari Surakarta. Mereka ditugaskan
memata-matai tentara belanda di salatiga.
“Padahal waktu itu Salatiga merupakan basis militer Belanda
yang kuat, dan Salatiga sendiri dikenal sebagai kota garnisun atau kota militer
Belanda”
Menurut Eddy, apabila laskar Diponegoro itu melakukan perang
terbuka pasti akan kalah, sehingga pilihan paling realistis adalah dengan
penyamaran dan perang gerilya. Dan itulah yang dilakukan oleh Kiai Ronosentiko
dan Kiai Sirojudin (Damarjati) di Salatiga.
Hingga pada suatu waktu, guna menghindari kecurigaan
Belanda, kedua laskar Diponegoro ini berpencar dan memilih pusat kegiatan yang
berbeda. Kiai Sirojudin memilih tinggal di kampung Krajan dan Kiai Ronosentiko
di kampung Bancaan.
Syiar agama Islam adalah cara yang mereka pilih dan itu sama
sekali tidak menimbulkan kecurigaan di kalangan tentara Belanda.
“Nah, pada kampung Krajan inilah Kiai Ronosentiko dan Kiai
Sirojudin membangun sebuah surau atau langgar. Saat pertama kali dibangun surau
tersebut masih merupakan bangunan yang sederhana, dengan ukuran 36 meter
persegi. Atapnya dari sirap dan dindingnya gabungan antara kayu dangedeg
(anyaman bambu),” katanya
Dikatakan Danujo, warga setempat bersama dinas sekarang
sedang mencoba mencari data sejarah yang ada agar dapat disusun ulang secara
lebih mendetail.
Ia menyebut, karena bangunan fisik masjid sudah dua kali
mengalami pemugaran sudah bukan lagi termasuk kategori peninggalan bangunan
cagar budaya.
“Sekarang yang bisa kami lakukan hanya menyusun sejarah atau
narasinya seperti apa. Kalau soal fisik bangunan masjid karena keasliannya
sudah hilang, kami tidak bisa melakukan revitalisasi,” pungkasnya. (
Sumber : https://jateng.tribunnews.com/2019/05/11/kisah-heroik-kiai-sirojudin-pendiri-masjid-damarjati-masjid-tertua-di-salatiga
No comments:
Post a Comment