Tempat Wisata dan Kuliner di Salatiga

7/30/2019

Masjid Damarjati, Masjid Tertua di Salatiga





Kiai Sirojudin atau masyarakat salatiga yang lebih mengenalnya dengan nama Kiai Damarjati ialah tokoh yang bergabung dalam Laskar Diponegoro  antara tahun 1825-1830 yang titik awal perangnya di Jogjakarta kemudian meluas ke banyakan tempat di sekitar pulau jawa.



Kiai Damarjati Sebenarnya hanyalah nama samara agar tidak diketahui Kolonial Belanda pada masa perang Kolonial. Kiai damarjati sendiri terlibat dalam perang jawa bersama laskar diponegoro.
Menurut Eddy Supangkat selaku pemerhati sejarah mengatakan, ditengah perang diponegoro ada dua sosok yang berpengaruh dari Laskar diponegoro yang datang sampai ke salatiga. Keduanya ialah kiai Ronosentiko dan Kiai Sirojudin yang kemungkinan kuat berasal dari Surakarta. Mereka ditugaskan memata-matai tentara belanda di salatiga.


“Padahal waktu itu Salatiga merupakan basis militer Belanda yang kuat, dan Salatiga sendiri dikenal sebagai kota garnisun atau kota militer Belanda”


Menurut Eddy, apabila laskar Diponegoro itu melakukan perang terbuka pasti akan kalah, sehingga pilihan paling realistis adalah dengan penyamaran dan perang gerilya. Dan itulah yang dilakukan oleh Kiai Ronosentiko dan Kiai Sirojudin (Damarjati) di Salatiga.

Hingga pada suatu waktu, guna menghindari kecurigaan Belanda, kedua laskar Diponegoro ini berpencar dan memilih pusat kegiatan yang berbeda. Kiai Sirojudin memilih tinggal di kampung Krajan dan Kiai Ronosentiko di kampung Bancaan.


Syiar agama Islam adalah cara yang mereka pilih dan itu sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan di kalangan tentara Belanda.

“Nah, pada kampung Krajan inilah Kiai Ronosentiko dan Kiai Sirojudin membangun sebuah surau atau langgar. Saat pertama kali dibangun surau tersebut masih merupakan bangunan yang sederhana, dengan ukuran 36 meter persegi. Atapnya dari sirap dan dindingnya gabungan antara kayu dangedeg (anyaman bambu),” katanya

Dikatakan Danujo, warga setempat bersama dinas sekarang sedang mencoba mencari data sejarah yang ada agar dapat disusun ulang secara lebih mendetail.



Ia menyebut, karena bangunan fisik masjid sudah dua kali mengalami pemugaran sudah bukan lagi termasuk kategori peninggalan bangunan cagar budaya.

“Sekarang yang bisa kami lakukan hanya menyusun sejarah atau narasinya seperti apa. Kalau soal fisik bangunan masjid karena keasliannya sudah hilang, kami tidak bisa melakukan revitalisasi,” pungkasnya. (
Sumber : https://jateng.tribunnews.com/2019/05/11/kisah-heroik-kiai-sirojudin-pendiri-masjid-damarjati-masjid-tertua-di-salatiga




No comments:

Post a Comment